Cerita Bersambung
Misteri piano klasik
Lalu lalang kendara yang tak bercelah,
membuatku harus mundur kembali untuk melewati garis zebra itu. Cukup berulang
kali aku melakukan hal itu. “sial” gerutuku, di ujung kanan sana
lelaki itu merekam jelas gerak kesalku yang sedari tadi tak juga bisa
menyebrang melewati jalan itu. Tekanan tangannya pada pergelangan kananku
terasa jelas terasa, ya pengap, pedas dan perih. Begitu aku merasakannya, tapi
syukurlah dengan begitu aku dituntunnya menyebrangi jalan yang sudah hampir
satu jam yang tak juga ku taklukan. Entah dari mana sosoknya muncul, dia muncul
secara tiba tiba kemudian pergi berlalu begitu saja, tanpa menatapku terlebih
dahulu. Aku yang terpaku akan tingkahnya baru tersadar bahwa dia sudah berjalan
menjauh dari hadapanku, “terimakasih” teriaku padanya dan di sambut dengan
lambai tangan tanpa berbalik kearahku dan terus berjalan.
“piano” sapa Mira, teman sebangku juga
teman seperjuangan sejak SMP. Ya, seperti yang dikatakan Mira Piano itu memang namaku. Pemberian nama
yang salah bagiku, kau pikir
saja itu adalah sebuah nama alat musik yang sekarang menjadi nama seumur
hidupku, sederhana saja. Papa adalah seorang komponis besar di salah satu
orkestra di jakarta. Dia juga seorang pianis terkenal, ya mungkin salah satu
alasan papa katanya “aku mencintai pianoku seperti anakku” jadi mungkin karena
itulah papa menamaiku dengan nama konyol itu, aku
menoleh sembari memperlihatkan wajah masamku. “mau kemana kau? Bolos?” ucap selidiknya.
Aku hanya tersenyum manis padanya, menunjukan pada yang di katakan Mira adalah
hal terbenar dalam hidupnya. “namamu Piano, papahmu seorang komponis juga
pianis, tapi kenapa setiap pelajaran seni musik kau menghindar? Jelas
menyimpang” protesnya. “apa yang menyimpang? Memangnya aku melanggar hukum yang
sudah di buat oleh para tikus itu?” aku menatap penuh ejek padanya. Tak ada
kata lagi yang keluar dari bibir tipisnya, yang kemudian dia berlalu
meninggalkanku sendiri di koridor menuju kantin sekolah.
Entah sejak kapan aku membenci nada, bagiku
musik sama halnya dengan kejadian miris itu yang membuatku harus berpisah jauh
dengan papa, demi musik papa meninggalkanku sendiri, dia memilih
duduk berjam-jam dan
menghabiskan kertas-kertas kemudian yang berserakan di lantai karena coretan.
Yang aku tahu musik itu egois menciptakan nada dan lirik yang membuatku
terhanyut oleh perasaan yang bertolak oleh perasaanku, yang membuatku harus
bertingkah seolah-olah
baik baik saja. Dulu yang aku tahu aku menyukainya, tapi sekarang ini tidak.
Setelah papa memilih musik dan mamah meninggalkan rumah, semuanya seketika
hancur begitu saja. Semula yang ada tawa sekarang hanya sisa bayang dan
kesenyapan samata. Masih teringat jelas didalam bayangku, ketika mamah yang
sering membawa teman lelakinya dalam keadaan mabuk tanpa papa tau, dan ketika
papa menyadari hal itu terjadi banyak kata yang keluar dari gerak bibir yang
beradu juga tak lupa pecehan vas senilai tiga
ribu dolar lenyap begitu saja. Menyedihkan memang melihat kisah lamaku.
Ketika mamah memutuskan membawa koper dan barangnya aku menolak untuk di
ajaknya pergi dari rumah, karena aku tahu mamah tak akan bisa merawatku walau
saat itu aku masih beranjak 9 tahun. Lamunku seketika buyar, saat pelayan
membawakan pesanan mie ayam bakso dengan 3 bakso, 2 ceker ayam juga tidak dengan
sayur hijau yang membuatku mual setiap memakannya.
Langkahku terhenti pada ruang yang berpalang X-11 di ujung pintu atasnya.
“kosong?” celetukku. Tanpa fikir panjang aku berjalan menuju utara mencari
ruang musik yang letaknya tak jauh dari kelasku. Bukan Piano sekarang namanya,
jika sampai di ruang musik tidak menutup telinga dengan kapas kemudian berjalan
melewati ruang musik. Aku melihat anak-anak memainkan namaku, satu persatu
anak-anak bergilir untuk mencoba tust-tust dari piano elektrik itu, iri aku
melihatnya. Ingin aku bergabung bersama mereka memainkan alat musik dengan
suara indah itu, menekan lembut tombol hitam putihnya, juga mendengarkan
nadanya yang slalu berubah setiap jari menekan tombol yang lain, sayang hati
ini hanya bisa teringat kepada masa laluku yang begitu pahit. Papa, piano,
kertas dengan coretan itu, mamah, teman lelakinya, dan tentunya vas pemberian
nenek dari china secara turun temurun yang seharga tiga ribu
dollar
berubah menjadi bongkahan sampah yang tak berarti. Pandanganku teralih ketika
melihat piano klasik yang di biarkan terbengkalai begitu saja dengan kain merah
menutupi badanya yang kuno. “piano klasik? Kenapa tidak di pakai?” fikirku
bersuara. Sekali lagi lamunanku di kejutkan oleh orang lain, Mira datang menyenggol bahuku
dengan bahunya, “cie, akhirnya liat kita belajar di ruang musik juga? Gimana tadi
permainan pianoku terdengar hebatkan?” sombongnya padaku, “aku gak denger
soalnya aku pake,-“ ku singkangkan rambut panjang yang terurai yang menutupi
kapas disela lubang telingaku. Tentu aku tahu apa yang akan di ekspresikan Mira
padaku, hembusan nafas
menyesal telah berkata menyombong padaku tadi dan aku melebarkan bibirku, melotot
padanya kemudian lidah terjulur mengejek kesombongannya yang tak berarti.
##
Sejak saat itu, aku slalu menyempatkan
diri untuk melihat piano klasik itu. Bukan karena aku ingin berada di sana,
duduk di kursi ukiran motif kelopak bunga mawar lalu mencoba menekan nekan
tuts. Hanya saja aku ingin mengingat saat saat aku bersama mereka, ya aku papa
dan mama. Tiga tahun umurku saat itu, papa mengenalkanku pada tombol warna
hitam putih itu. Cerita canda dan tawa saat itu masih tersimpan jelas dalam memori,
papa memeluk tangan mungilku lalu menekan tuts itu secara bersamaan dengan
tangannya yang besar tapi lembut, sedangkan mama yang tertawa melihatku menekan
asal tanapa komando dari papa. Air itu menitik dari mataku kemudian membasahi
bulu mata tebal lentik yang berarkhir menjalur melewati pipiku dan aku akui air
mata ini tak akan tertahan lagi lalu
membanjiri setengah dari wajahku yang kalut dalam kesedihan kemudian meringkuk
di depan jendela kaca besar di samping ruang musik.
###
Seperti dengan hari lain, aku
berangkat memakai fasilitas pemerintah. siapa lagi Kalau bukan transportasi
umum. Aku berdiri di halte sudah lama, mungkin sudah satu setengah jam, Aku berdiri bukan karena
menunggu seseorang, atau tidak bisa menyebrang seperti kemarin, hanya aku tidak
juga mendapat tumpangan, bis yang datang selalu penuh di padati penumpang, jika
tidak penuh bis yang datang justru kosong tapi aku kalah bersaing dengan mereka
yang banyak juga ikut mengantri. Ada
yang mencengkram kuat tanganku
lagi, seperti kemarin masih sama rasanya, pengap pedas dan perih. Dia menyeret
tubuhku hanya dengan menarik tangan kananku masih seperti kemarin lelaki yang
menolongku untuk berada di dalam bis kini
disampingku. Genggaman
tangannya yang kuat dia lepas, setelah aku dan dia berhasil berdesak untuk
masuk kedalam bis dia
menggenggam kuat besi yang berada di langit bis, sedangkan aku berdiri disampingnya juga
sama menggenggam kuat besi pegang itu. Entah kenapa? Rasa ingin tahuku muncul
seketika. Tak henti aku memandang wajahnya, yang menurutku sedikit tampan. Rambutnya
yang sedikit ikal di biarkan begitu saja menutupi jidatnya juga telinganya, ada
garisan kumis tipis di atas bibirnya, warna bibirnya yang merah membuat lelaki
itu terlihat lebih indah dengan bibir mungilnya, bola matanya yang bulat
membuatku iri padanya juga yang membuatku sedikit terpana karena kulit hitam
manisnya. Tingginya tidak jauh dari tinggiku hanya satu kilan lebih tinggi,
sedangkan aku tinggi hanya 163.
“kamu,
yang kemarin nolongin aku kan??” ucap selidikku
Dia melirikku, lalu kembali memandang kedepan
“terimakasih ya? Udah nolongin aku,
untung ada kamu. Kalo
kaga nih ya?? Mampus deh aku,
bisa bisa gak masuk sekolah aku”
curhatku tiba tiba. Kini dia tetap diam dalam posisinya, tidak melirik saat
pertama aku bersuara.
“nama kamu
siapa?” tanyaku kemudian. Dia menatapku, lalu melirik name tag pada baju putih
abu abuku.
“ohh, ternyata kamu
pelajar SMA juga toh?? SMA mana kamu?”
ucapku lagi, sekarang dibuat sok akrab dia
masih tetap diam.
“heloooowwww kamu
punya kuping gak sih?? Atau?? kamu bisu ya?!” kini nadaku
berubah menjadi keras membuat seluruh penumpang di bis mendadak menengok
kearahku. Aku terdiam.
“stopp, bang stop bang” suara lantangnya berhasil
menghentikan laju bis.
“kamu punya
suara? kamu gak
budek kan??” tanyaku heran padanya yang sudah sedikit menjauh dari hadapanku, sekilas
pandanganku beralih pada jendela bis tertulis di sana SMA BUDI SENTOSA tempat
yang membuatku rela berdesak di dalam bis untuk mencapai gedung itu.
“astaga ! itu kan sekolahan aku?” aku baru menyadari setelah
bis kembali maju.
“stopppppppppp,.... itu sekolah aku kelewatan bangg!!” teriakku
kepanikan.
Aku melompat dari tepi pintu bis dengan dua kaki sekaligus.
Kemudian berlari mencari arah sekolah yang sudah kulewati. Di depan, kulihat
lelaki itu juga berarah yang sama denganku, dengan semangat ku percepat lariku
beralasan untuk berpijak di depannya, lalu memandangnya dan menghentikan
pijaknya. ‘sial!’ dia melangkah lebih cepat dari lariku. Gerbang itu menjadi
pembatas bagi kami, dia di dalam dan aku di luar.
“pak, aku baru telat 2 menit. Ayo lahhh aku mohon,
gerbangnya di buka ya?” bujukku pada situa ing gue yang sering geu sebut pak
tukul.
“maaf neng, gak bisa”
##
Lilin bentuk 20 menambah hias pada kue
blackforest yang aku beli sepulang sekolah di Bakery Manda. 25 mei bukanlah
hari ulang tahunku, bukan juga papa. Melainkan ulang tahun mereka. Pernikahan
yang dulu pernah terikat diantara mereka. Walau sepuluh tahun lalu mama pernah
mengatakan kata cerai kemudian
meninggalkan rumah dan tak pernah kembali. Aku sadar mereka bukanlah sepasang
kekasih yang terikat dua kartu kecil seukuran dompet yang bersertai foto dan
data diri mereka masing masing, tentu dengan tanda tangan wali. Namun bagiku
pernikahan dulu atau sekarang, berlanjut atau tidak tetap saja mereka orang
tuaku yang ketika hari istimewa itu datang, mereka membuka rekaman dalam
memorinya. Bernostalgia di meja makan yang kerap menelantarkanku dalam
kesendirian sehingga dibuatnya aku cemburu pada hari itu. “pa, satu suap saja ya??” mohonku padanya
yang tak meladeniku. “satu, dua atau setengah sekaliapun itu pun akan membuatku
lapar kemudian menghabiskan kue itu tanpa sisa dan kekenyangan, lalu tidur.
Papa baru menyelesaikan 4 lagu sedangkan papa harus menyelesaikan 15 lagu lagi
untuk dua minggu kedepan. Kau tahu berapa notasi balok setiap lagunya?” papa
mengatakannya dengan keras, aku terdiam. Dia melanjutkan katanya yang belum
usai. “50-78 notasi balok” kali ini nadanya yang keras disusul dengan hentakan
telapak pada meja kerja papa. Aku mengerti
papa telah mengalami frustasi. Papa memang kerap seperti ini jika ingin konser,
memarahi segala hal kesalahan pada dirinya sendiri. Wajar jika papa seperti
itu, mungkin karena faktor demam panggung walau sudah berpuluh-puluh tahun papa
berdri diatas panggung dan ditonton oleh ratusan penonton yang tenang, papa
masih memiliki itu. “baiklah, aku harap setelah selesai menyusun ratusan notasi
balok itu, papa ingat hari ini” setengah aku menyadarinya. Tanpa pandang atau
suara papa aku pergi meninggalkan ruang kerja yang berubah menjadi adegan
mencengkram.
Diam. Pandanganku kosong, lidahku kelu
saat akan mengucap. Hanya mengecap bibir lalu merasakan pahitnya tenggorokanku
saat ini. Cuaca hari ini tak bersahabat, membuatku harus bergidik, memeluk,
mengelus kedua lenganku dengan telapak tangan. Hanya aku sediri di teras depan
rumah. Memandang jalan yang sepi, sama sekali tidak ada kendara yang lewat.
Hanya sekali aku mendengar jeritan kucing.
Aku menengok pintu utama rumah, masih
tertutup rapat, tidak juga ada gerak tanda pintu itu akan di buka. “papa
benar-benar lupa” batinku dalam hati. Aku bergerak dari posisi, berdiri, lalu
menatap harap pintu utama kemudian beranjak pergi dari teras. Entah apa yang
aku lakukan, terus melangkah namun tak pernah ada tujuan. Getir yang kurasakan,
sakit, pahit, juga rindu. Aku terus melangkah, dengan gaya seperti ini. Bahkan
untuk memandang satu titik pun tidak, pandanganku kosong entah apa yang aku
harapkan. “mama” panggilan itu seketika datang di fikirku, wanita yang rela
bertaruh nyawa dengan hidupku kini tak lagi bisa kulihat senyumnya. Andai jika
papa tak pernah mengenal nada, mungkin sampai sekarang akan baik baik saja,
mungkin juga aku sekarang tengah menonton kemesraan mereka di meja makan. “aw!”
aku menabrak tiang listrik, jelas saja jika ini terjadi karena memang sejak tadi
aku tak pernah melirik jalan. Kuraba jidat yang separuh sudah menggunung.
Kembali air mata ini menitik. Sakit benar benar sakit, bukan karena jidat yang sudah
membengkak, tapi karena tidak ada lagi yang akan mengkompres jidatku saat
seperti sekarang. Masih teringat dalam benak, umur 4 tahun waktu itu masih suka
berlari kesana kemari sampai akhirnya terjatuh dan terjedot. Ketika hal itu
terjadi, semua aktivitas yang mereka (papa, mama) lakukan henti seketika demi
menolongku merawat luka agar tidak terlalu menjadi. Namun sekarang apa daya?
Aku hanya bisa meringis kesakitan sendiri, menolong diriku sendiri tanpa ada
yang bertanya “apakah kau baik baik saja?”. Tuhan tolong jelaskan pada mereka
bahwa aku sekarang sedang tidak baik baik saja.
Separuh jalan aku meninggalkan rumah,
jalan menuju sekolah sudah hampir terlihat. Aku terus melangkah dalam gelap dan
kesenyapan. Hanya aku sendiri dijalanan, rumah bahkan warung yang ku lewati
hanya bersisa lampu untuk menerangi sementara pintu dan jendelanya tertutup
rapat. Pagar sekolah sudah terlihat, aku hanya butuh beberpa langkah lagi.
Setengah sadar dalam benakku, sekarang sudah menuju pukul 00.00, gerbang tidak
mungkin buka pasti sudah disatukan oleh gembok
juga gerendel. Bodoh! apa yang aku
lakukan? Aku berdiri cukup lama di gerbang sekolah, memandang tingginya gerbang
putih itu. Entah apa yang aku fikirkan saat ini, begitu melihat ujung pagar
yang tak berkawat juga bergerigi, aku tersenyum.
Sekarang aku sudah berada di dalam
sekolah, aku tetap dalam gayaku, kembali jalan namun tak memandang. Pijakku
terhenti di ruang musik. Jelas sekali yang kulihat. Wanita sebaya denganku
berdiri di hadapanku. Dia juga memakai seragam putih abu-abu seperti pelajar
lainnya, namun baju yang ia kenakan sudah usang, wanita itu mengepang rambutnya
yang panjang lalu diikat dengan pita warna merah. Rambutnya di selempang
kesamping bahu kanan, lalu dia memutar ujung rambut yang tersisa dari
kepangannya dengan kedua tangannya. Wanita itu, dia menatapku juga dengan
memutar rambutnya, dengan wajahnya yang pucat pasi. Dia masih tetap menatap
mataku, walau aku sudah tersenyum dia tidak membalas senyumku, aku abaikan dia.
Aku menoleh kearah jendela besar di ruang musik itu, menatap lekat piano klasik
yang di tutup kain merah. Setelah pandanganku puas dengan piano klasik, aku
beralih pandangan. Menoleh sedikit ke kanan untuk menatap kedepan. Wanita yang
baru saja menatapku, seketika hilang entah kemana, padahal aku mengalihkan
pandangan hanya untuk beberapa detik. Kembali aku melangkah, meninggalkan ruang
musik. Langkahku seketika henti, aku melihat palang di atas pintu ruang itu tertulis
X-9. Aku menekan gagang pintu,
terdengar suara klik sangat jelas
disini ya mungkin karena selain suara seret sandalku aku tak mendengarkan suara
apa apa di sini. Sunyi benar benar sunyi, untuk mendengar suara burung berkicau
pun tidak, hanya kadang sesekali terasa geriuh daun daun pohon yang terkena
angin. Aku kembali melanjut lengkahku, lalu terdiam di depan bangku yang
berletak 3 deret dari bangku paling kanan dekat pintu. Aku merasakan kasarnya
permukaan meja yang penuh dengan coret tangan, mencium bau kayu yang sudah tua,
juga bau tinta bolpoint dan tip-x.
BERSAMBUNG
Komentar
Posting Komentar